Pers berasal dari Bahasa belanda, yang jika dalam Bahasa inggrisnya press, secara harfiah pers berarti cetak dan
secara maknawiah berarti penyiaran secara tercetak atau publikasi secara
dicetak (printed publication). Secara etimologis kata pers (Belanda), Press
(Inggris), Presse (Prancis) berarti tekan atau cetak. Berasal dari Bahasa
Latin, Pressare dari kata Premere (tekan). Definisi terminologinya ialah media
massa cetak disingkat media cetak. Bahasa Belandanya drupes, bahasa Inggrisnya
printed media atau printing press. Istilah pers sudah lazim diartikan sebagai
surat kabar (news paper) atau majalah (magazine) sering pula dimasukkan
pengertian wartawan di dalamnya.[1]
Menurut pasal 1 butir 1 undang-undang no. 40 tentang pers, definisi pers sebagai
suatu lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan
jurnalistik, meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan
menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan
gambar, serta data dan grafik maupun media elektronik, dan segala saluran yang
tersedia.
Dari
pengertian di atas yang sudah di jelaskan, bahwa pers merupakan sebuah Lembaga sosial,
Lembaga masyarakat yang setiap tingkah lakunya hanya untuk kepentingan
perkembangan kebudayaan masyarakat sesuai dengan fungsinya, bukan sebuah Lembaga
swasta apalagi institusi pemerintah yang dengan sengaja menyembunyikan
kebenaran yang ada, dalam tulisan ini akan memberikan penjelasan mengenai
perjalanan pers kontemporer hingga pada masa sekarang dan akan coba memberikan
ramalan pers pada masa yang akan datang sehingga informasi yang di berikan akan
lebih utuh dalam penjelasanya, tulisan ini akan saya pecah kedalam beberapa masa:
Masa Perjuangan
Perjalanan
pers yang sangat panjang memiliki keunikan tersendiri berdasarkan masanya, misalnya
pada masa perjuangan kemerdekaan pada zaman dahulu masih menggunakan media
cetak, media cetak pada masa perjuangan sebagai sarana membangkitkan dan
menggerakan kesadan nasional dan meluaskan kebangkitan bangsa indonesia[2]
dan tumbuhlah organisasi-organisasi perjuangan seperti Boedi Utomo 1908 dan
mendorong rakyat pada waktu itu untuk turut serta membentuk pers dengan
kepentingan menyebarluaskan perjuangan nasional seperti Benih Merdeka, So'ra
Ra'jat, Daulat Ra’jat yang pada akhirnya pula menyadarkan rakyat untuk membentuk
organisasi perjuangan.
Masa Kemerdekaan
Pers
pada masa awal kemerdekaan hingga hampir menjelang orde baru 1966 kehidupan kepartaian
sangatlah mempengaruhi kehidupan pers di Indonesia, dengan adanya pertentangan
antara pemerintah dengan oposisi mempengaruhi pers Indonesia sehingga terjadilah
kubu pers
yang mendukung pemerintah (prokabinet) dan oposisi terhadap penguasa
pada waktu itu, namun dengan adanya fenomena seperti ini mendorong adanya sebuah
gerakan pers bebas seperti di negara liberal yang mana dalam setiap penyampaian
informasi tidak berdasarkan atas intervensi politis dan hanya selalu di
dasarkan atas dasar dorongan individualis wartawan.
Masa Orde Baru
Kemenangan
orde baru atas demokrasi terpimpin mengubah pola politik pada masa itu, Kegagalan
G30S/PKI menjadikan negara ketakutan terhadap oposisi yang akan berpotensi menumbangkan
rezim sehingga perlunya untuk “membenahi” segala aspek kehidupan politik, tidak
terlepas dari situasi ini mempengaruhi pola pers, sehingga pengetatan pers
melalui perundang-undangan yang banyak mengatur pelaksaan kebebasan pers yang
di kendalikan oleh pemerintah sehingga pelaksanaan pers nasional harus bertanggung
jawab pada pemerintahan orde baru.
Pada era soeharto, pers di
anggap sebagai sebuah instrument pendukung pembangunan karena dalam pelaksanaanya
pers di bentuk untuk selalu berisikan hal-hal
yang berbentuk pembangunan, sehingga segala kepentingan pers nasional selalu di
hadapkan kepada kepentingan pembangunan nasional pola ini terlihat jelas bahwa pers
indonesia tidak mempunyai kebebasan karena pers harus selalu mendukung program
pemerintah orde baru. Pers sangat di kekang tidak di ijinkan untuk memberikan
pemberitaan yang bertentangan dengan orde baru sehingga segala aktifitas pers bertanggung
jawab atas pemerintahan orde baru bukanlah kepada masyarakat.
Selain daripada itu, pers di
jadikan sebagai sebuah saluran hegemoni kekuasaan dan kepentingan status quo
pemerintah orde baru, pers juga di gunakan sebagai alat represi terhadap
oposisi seperti halnya penyerbuan terhadap kantor DPP PDI untuk memukul terhadap
orang-orang yang pro-demokrasi melalui isu makar, komunis, dan lainya yang hal
ini di lakukan oleh pers sebagai corong pemerintahan orde baru, akibatnya sebagian
kader dan simpatisan partai ketakutan, trauma, tertekan dan menimbulkan
kehawatiran para kelaurga sehingga melarang anak-anaknya untuk aktif dalam
pergerakan, hal ini di lakukan untuk mempertahankan kekuasaan negara dan “upaya
menjaga stabilitas negara” namun dengan adanya tragedi ini membuat kesadaran
akan pentingnya membuat terbitan bawah tanah yang secara khusus di tujukan untuk
mengkritik pemerintahan orba, dengan membentuk solidaritas yang berasal dari kalangan
menengah, buruh, intelektual, dan juga kaum pemodal yang bersatu dan menolak
keberlangsungan kehidupan pemerintah orde baru.
Era Reformasi
Keberhasilan
gerakan 1998 menumbangkan rezim orba, mengubah wajah pers lebih merdeka dan terbebas
dari control pemerintah, melalui UU no 40 1999 secara normatif pers Indonesia telah menganut teori pers tanggung jawab
sosial (kebebasan pers yang bertanggung jawab pada masyarakat/kepentingan umum),
dan melahirkan pers yang liputanya lebih beragam sekali atau pers Indonesia menjadi
gambaran a liberal-pluralis or marked
model dan memunculkan banyak sekali penerbitan baru seperti tabloid,
majalah, surat kabar yang isinya politik, ekonomi, budaya, bahkan sampai pornografi,
hal ini timbul dari euphoria kebebasanya
dan lebih memilih kepentingan komersil yang cenderung mengutamakan keuntungan
daripada menjalankan tanggung jawab sosial pada penyampaianya.
Sekarang dan Masa depan
Saat
ini informasi yang di berikan media tidak lain adalah sebuah komoditas yang
sekedar diperjualbelikan untuk kepentingan akumulasi keuntungan para pemilik modal
dan kekuasaan politik sekitar, seakan menyelami masa dahulu kebebasan pers
belum sepenuhnya merdeka karena informasi yuang di sampaikan kepada umum adalah
realitas yang sudah di filter dan disusun menurut pertimbangan ideoologi institusi
media, seperti halnya kemarin soal permasalahan ratna sarumpaet yang banyak di
beritakan media, ini membuktikan bahwa belum ada tanggung jawab sosial dalam
pers Indonesia sehingga informasi yang diberikan hanya sekedar komoditas saja untuk
mendapatkan keuntungan.
Prediksi media kedepan, dengan perkemabangan
teknologi yang sangat cepat dan memudahkan semua orang mendapatkan dan mengolah
informasi maka akan semakin absurd media di Indonesia, teknologi yang mudah
akan mengubah wajah pers Indonesia menjadi lebih menyeramkan daripada dahulu
dan hari ini, maka harus ada upaya regulasi pemerintah yang cukup dan tentu
saja tidak harus berlebihan dalam memberikan regulasinya hal ini untuk menjamin
kebebasan pers dan melindungi kepentingan umum, serta harus adanya upaya akuntabilitas
media informasi yang di berikan secara serius unutk menjamin kualitas informasi
yang di sampaikan.
[1] Dahlan
Surbakti Jurnal Hukum PRIORIS, Vol. 5 No. 1, Tahun 2015 HaI 77
[2] Jurnal
interkasi, vol II No. 2, Juli 2013 :53-60 Hal 55
Komentar
Posting Komentar